Sebetulnya, ada tulisan mengendap di draft dari satu bulan lalu. Begitu energi buat nge-blog tetiba muncul, rasanya sayang banget tulisan yang seharusnya udah diunggah akhir bulan kemarin ini dibiarkan begitu saja. Dan, sesuai dengan judulnya, tulisan ini memang tulisan tentang Kelas Inspirasi!
Briefing Kelas Inpirasi Bandung angkatan 4 | Kredit : Kelas Inspirasi Bandung (@KIBdg) |
Nah, sebagai bagian dari program tersebut, Kelas Inspirasi juga sama-sama merupakan program yang melibatkan banyak relawan untuk ikut serta dalam dunia pendidikan. Bedanya, di Kelas Inspirasi ini, para relawan berasal dari berbagai latar belakang profesional dan mereka hanya meluangkan waktu selama satu hari saja untuk datang langsung ke sekolah-sekolah dasar untuk mengenalkan profesi masing-masing. Diharapkan, perkenalan akan profesi yang amat beragam ini jadi inspirasi untuk anak-anak SD dalam membuat impian dan cita-cita mereka di masa yang akan datang kelak. Kenapa harus anak SD? Sesuai namanya, mereka adalah anak-anak yang masih merasakan pendidikan dasar yang harus memiliki banyak wawasan tentang cita-cita mereka kelak sebagai generasi penerus bangsa.
Untuk lebih jelasnya, sila melipir aja ke situs Kelas Inspirasi langsung, tapi setelah beres baca tulisan ini sampai beres *maksa* Oh, iya, Kelas Inspirasi ini juga ada di berbagai daerah di seluruh Indonesia ya.
Nah, sebetulnya saya udah tau tentang Kelas Inspirasi (selanjutnya saya sebut KI aja deh) ini dari tahun lalu. Saya juga pernah mendaftar untuk KI Bandung angkatan ke-3 tahun 2014. Hari inspirasi--waktu pelaksanaan alias hari-H-nya KI--memang bertepatan dengan hari kerja (weekday), tapi sayangnya tahun lalu, saya baru saja mulai bekerja di tempat baru, jadi masih agak malu kalau misalnya harus izin atau "bolos". Beda sama sekarang, lebih santai kalau mau meliburkan diri sendiri, haha. Makanya, KI angkatan 3 tahun 2015 saya tidak jadi ikut.
Makanya, begitu ada informasi KI Bandung angkatan 4 2016 ini, saya langsung mendaftarkan diri. Pendaftaran dimulai selama Januari, satu bulan penuh. Awal Februari pun, saya dinyatakan lulus dan diminta untuk mengikuti briefing KI 4 di Gedung Sate, 14 Februari 2015. Pertamanya agak dag-dig-dug. Maklum, sindrom introvert suka ganggu kalau mau ikut acara yang melibatkan banyak orang begitu :mrgreen: Tapi, akhirnya hari yang ditunggu tiba. Tanggal 14 Februari bertepatan dengan hari .... ah entahlah, saya ikut briefing KI di tempat nongkrongnya Kang Ahmad Heryawan dan Dedi Mizwar. Dan, ternyata, buset juga. Relawan yang hadir lebih dari seribu orang. Bangga deh jadi orang Indonesia, gesit juga kalau urusan kegiatan sukarela begini. Relawan terdiri atas pengajar (inspirator) dan dokumentator (fotografer dan videografer).
Relawan inspirator, seperti tadi saya bilang, terdiri atas profesional di bidang masing-masing. Relawan tersenior yang tercatat di KI 4 ini adalah seorang dokter dan dosen fakultas kedokteran. Tapi saya lupa namanya, tapi usianya 50 tahun lebih. Kalau dari jenis profesinya, yang menurut saya paling gokil adalah produsen senjata dan celana antipemerkosaan :lol: Gak kebayang, bagaimana si bapak akan mengenalkan profesinya ke anak SD? :lol: Di KI 4 ini juga ada selebritas, Dinda Kanya Dewi.
Di briefing tersebut para relawan mendapat banyak informasi dari para panitia, relawan terdahulu, sekaligus juga pembagian kelompok untuk hari Inspirasi nanti. Dan, saya pun dinobatkan jadi anggota kelompok 40 dengan tempat mengajar di SD Negeri Cibogo, Bandung. Wah, sepuluh tahun saya tinggal di kota Bandung, belum pernah denger nama SD itu. Padahal, katanya SD-nya di pusat kota banget. Setiap kelompok dibantu oleh fasilitator atau pendamping kelompok yang merupakan relawan yang pernah berpartisipasi tahun lalu di program yang sama.
Di pengujung acara, setiap kelompok pun berkumpul untuk merencanakan teknis pelaksanaan hari Inspirasi yang hanya 10 hari ke depan. Pendamping kelompok saya waktu itu adalah Kang Rizky, seorang kontraktor desain interior. Dan, anggota kelompok saya waktu itu tercatat 15 orang, minus 1 orang dokumentator yang tidak juga menampakkan batang hidungnya sampai acara selesai. Kesan pertama berkumpul dengan sesama anggota kelompok 40 adalah asyik! Karena saya bisa bertemu dengan para profesional muda di bidang yang berbeda-beda. Bahkan beberapa di antaranya, saya baru tahu nama profesinya :mrgreen:
Pertemuan Kelompok 40 sebelum Hari Inspirasi |
Para profesional muda di Kelas Inpirasi Bandung 4 Kelompok 40 (SDN Cibogo) | Kredit : @AdityaPrinera |
Anggota kelompok saya terdiri atas beberapa profesi, yaitu konsultan pemasaran, dosen, bidan, arsitek, manajer di PT KAI, teknisi garmen, pengusaha bidang fesyen, pekerja media, staf personalia, juga ada dietisien (dan saya baru tahu ini istilah kerennya ahli gizi, hehehe) dan refraksionis optisien atau nama lain dari ahli kesehatan mata. Haduh, umur semuda ini, saya baru tahu istilah itu! :lol: Saya sendiri, profesinya ... ya begitulah. Setelah berkenalan, kita pun mulai membuat rencana kerja dan pembagian kerja masing-masing. Agenda selanjutnya adalah membuat pertemuan teknis berikutnya agar acara di Hari Inspirasi lebih matang.
Hanya dalam waktu 10 hari, seluruh anggota kelompok 40 merencanakan pelaksanaan hari Insiprasi. Kita berbagi tugas. Saya sendiri bertanggung jawab atas acara. Kita mulai mengumpulkan media ajar yang akan dipersiapkan untuk mengenalkan profesi masing-masing. Selain itu, kita juga akan mengemas Hari Inspirasi menjadi menarik dan jadi momen yang gak mudah dilupakan oleh SD yang kita datangi. Sebelumnya, gak lupa, kita survei lokasi dan bertemu dengan perwakilan SD Negeri Cibogo.
Hari Inspirasi 24 Februari 2015
Singkat cerita, akhirnya datang juga hari-H. Setelah merasa dag-dig-dug, karena bagi saya sendiri, baru kali itu langsung mengajar ke sekolah dasar. Meski sudah biasa menghadapi peserta didik di kelas, tapi kesannya jelas sangat jauh berbeda. Yang saya hadapi saat itu adalah anak-anak gemes yang tingkah lakunya gak bisa disamakan. Di Hari Inspirasi, saya kebagian mengajar di kelas 6, 4, 3 dan kelas 1. Ya, kelas 1 bro!
Saya telah siap dengan media ajar berupa buku cerita, kumpulan naskah, huruf warna-warni, spidol, dan beberapa gambar, Coba tebak, profesi apa yang mau saya tunjukkan?
Pertama, saya masuk ke kelas 6. Situasi kondusif. Anak-anak kelas 6 ternyata jauh dari yang saya bayangkan. Mereka tidak se-SD yang saya pikirkan :mrgreen: Ternyata anak-anak di kelas 6 jauh lebih dewasa dibanding kelas 6 zaman saya SD dulu, haha. Mereka sudah paham konsep cita-cita dan profesi. Mereka juga sudah fasih menyebut jenjang pendidikan hingga S3 dan nama-nama kampus. Begitu ditanya, cita-cita mereka tidak hanya sebatas dokter, polisi, dan pilot. Tapi saya dapat cita-cita yang lebih bervariasi. Ada yang ingin jadi arkeolog, budayawan, dosen, model, sampai diplomat. Mengajar pun sangat nyaman. Semua anak bisa diajak bekerja sama begitu saya adakan kuis dan permainan. Setelah selesai pun, mereka minta swafoto alias sefie, satu hal yang gak pernah saya temukan waktu zaman SD dulu :lol:
Begitu bel tanda pelajaran berakhir, saya "turun" ke kelas yang lebih bawah, yaitu kelas 4. Suasana langsung cukup berubah. Kelas tidak begitu kondusif. Beberapa anak mulai menunjukkan sikap hiperaktif, seperti sulit diatur, maunya terus diam di depan kelas, dan mengoceh tanpa bisa diberhentikan. Tapi, sebagian besar anak bisa diajak bekerja sama dengan baik, mengikuti kuis "susun kalimat". Becermin dari kelas sebelumnya, yang menyenangkan adalah rata-rata anak-anak antusias mengikuti pelajaran, diajak kuis, dan tidak ada yang malu-malu untuk berpartisipasi dalam apapun. Cita-cita mereka masih seputar cita-cita "klasik" yaitu menjadi dokter, polisi, dan pemain PERSIB. Beberapa di antaranya ingin jadi guru ngaji, kyai, dan pelukis.
Setelah jam berganti, saya mulai merasa cape. Padahal, baru 60 menit saya mengajar. Lain dengan mengajar orang dewasa yang 100 menit pun tidak terasa apa-apa, haha. Saya pun langsung masuk ke kelas yang lebih bawah, yaitu kelas 3 SD. Awalnya, agak ragu. Melihat situasi kelas 4 yang kondusif-nya agak "terganggu" oleh polah anak yang sangat aktif, saya menduga kelas akan lebih dari itu. Tapi, ternyata, kondisi sebaliknya. Kelas 3 jauh lebih kondusif dibandingkan kelas 4. Padahal, bagi mereka, itu adalah jam ke-3 yang saya kira akan membuat mereka mulai bosan dengan kehadiran relawan KI yang datang silih berganti setiap 30 menit. Alhasil, mengajar di kelas 3 pun cukup kondusif. Kuis pun masih sama dengan kelas 4. Cita-cita kurang lebih sama dengan kelas 4, hanya di sini saya mulai mendapatkan cita-cita anak yang mulai abstrak alias imajinatif (untuk gak bilang absurd, hehe). Selain cita-cita mainstream, ada juga anak yang cita-citanya ingin jadi hokage alias pemimpin negara api :mrgreen:
Selepas mengajar kelas 3, saya ada kesempatan beristirahat sebelum masuk ke kelas pamungkas, yaitu kelas paling awal dalam pendidikan dasar, yaitu kelas 1. Dari awal briefing, saya selalu banyak mendengar "mitos" tentang kelas 1, apakah susah diatur, bakal banyak kejadian seru, bakal ada yang nangis, bakal ada yang gak bisa diam ... tapi saya yakin itu cuma mitos. Toh, begitu masuk ke kelas 3 pun ternyata suasana cenderung kondusif. Tapi, semua kekuatan itu buyar setelah mendengar cerita dari pengajar-pengajar yang sudah masuk ke kelas 1 sebelumnya. Mereka semua bilang: warbiyasah! :lol:
Jam terakhir bagi saya pun tiba. Dengan kepercayaan diri penuh, saya mulai membuka pintu kelas 1. Begitu pintu dibuka, tiba-tiba segerombolan dedek-dedek gemes langsung menyambar ke arah pintu. Ada yang menarik tangan, ada yang mau salaman. Saya mulai pasang standar 1, berusaha sok cool menghadapi anak-anak. Tapi, di pojok depan, tampak beberapa orang anak yang sibuk beradegan baku-pukul. Cuma main-main, tampaknya. Dan, saya tahu, langkah pertama adalah membuat kelas kondusif. Saya coba menenangkan kelas dengan jurus kunci mulut. "Kalau Bapak bilang 'Kunci Mulut', semua bilang heup dan langsung kunci mulutnya, ya," begitu sang bapak tak berdaya ini mulai mengatur.
Dicoba sekali, jurus kunci mulut ternyata berhasil. Tapi gak sampai hitungan ke-5, suasana langsung gaduh kembali. Ada seorang anak yang sebelumnya sudah diceritakan relawan pengajar lainnya sebagai anak paling aktif di kelas itu. Anak itu ternyata agak spesial. Dia terus sibuk dengan dunianya dan menganggu teman-temannya. Dia terus memainkan penghapus papan tulis. Begitu saya bujuk untuk duduk, di sisi lain, beberapa anak tampak sibuk berebut penggaris segitiga. Belum selesai satu anak saya bujuk untuk kembali duduk, yang lain semakin agresif. Beberapa anak lain, terutama perempuan, tampak duduk canti hanya melihat adegan-adegan teman lainnya yang sangat aktif.
Media ajar yang saya siapkan untuk mengenal profesi saya. Coba tebak kira-kira profesi apa ya? :mrgreen: |
Adek-adek, tetehnya sudah lulus kuliah belum? |
Gaya anak kekinian | SDN Cibogo Bandung |
Keluarga besar SD Negeri Cibogo yang benar-benar menginspirasi | Kredit : @AdityaPrinera |
Di kelas 6, 4, dan 3, saya mengenalkan profesi saya dengan mengeluarkan media ajar berupa buku bacaan, gambar, huruf berwarna-warni, dan spidol. Dan, semua anak di kelas 6, 4, dan 3 pun akhirnya berhasil diperkenalkan mengenai profesi saya yang pada awalnya tak satu pun yang tahu. Begitu pun dengan kelas 1 yang saya hadapi terakhir. Saya coba keluarkan media ajar spesial. Saya membagikan huruf yang berwarna-warni dan ditempel di baju mereka. Begitu saya berikan satu per satu, suasana semakin kacau. Ada anak yang protes karena tidak mau diberi warna kuning. Ada yang protes gak mau kebagian "huruf B". Ada yang baru ditempel di bajunya langsung disobek lagi. Dan, anak yang paling spesial di kelas itu pun terus beraksi merebut huruf-huruf yang ada di baju teman-temannya.
Saya lihat jam tangan. Busyet, baru sepuluh menit. Dan, itu rasanya kayak sepuluh jam! Masih tersisa 20 menit dan saya mulai kewalahan dan rasanya pengen memanggil tim medis :lol: Dalam hitungan detik, seorang anak langsung menjerit. Ya, ternyata ada yang baku-pukul betulan! Beberapa anak, bahkan kabur keluar kelas. Saya langsung melambaikan tangan, memanggil teman relawan yang tak kebagian jam untuk ikut membantu. Tapi, ternyata tak membantu banyak. Meski pintu sudah dijaga oleh teman relawan lain, aksi anak-anak di kelas semakin gaduh. Saya sadar, akan sia-sia kalau saya mengajar tentang profesi saya, jurus terakhirnya adalah menyanyi! Yeah. Saya coba ajak mereka ikut menyanyi Bintang Kecil, tapi ternyata gak semua hapal, hehehe. Begitu lagunya diganti Pelangi, lumayanlah, beberapa anak bisa mengikuti. Namun, tiba-tiba pluk, seorang anak tiba-tiba loncat dari belakang memeluk saya minta digendong. Hwaaa!
Salut
Kelas pun segera berakhir. Dua jam mengajar di SD, rasanya seperti sepanjang hari bulak-balik lantai 1 ke lantai 4 pakai tangga. Apalagi ditutup dengan cantik di kelas 1 SD sampai kehabisan kata-kata. Saya sadar, yang saya lakukan belum seberapa, khususnya di kelas 1 SD. Hanya 30 menit saya bersama anak-anak kelas 1. Sedangkan, ada gurunya yang sejatinya menemani anak-anak itu selama setahun penuh. Dan, yang saya bayangkan, hanya sosok-sosok tangguh penuh dedikasi yang setia memberikan pendidikan di anak-anak usia awal seperti kelas 1 SD.
Saya langsung teringat Papa di rumah. Beliau mengabdikan lebih dari 30 tahun untuk mengajar SD, tak terkecuali kelas 1. Hingga pensiun seperti sekarang, masih ada anak didiknya di SD yang kirim SMS, "Bapak sudah makan belum?" Saya yakin, pahlawan bukan cuma sematan tanpa makna. Bukan cuma pujian klise untuk obat hati. Guru-guru SD dan guru-guru kelas 1 SD adalah superhero yang paling berjasa bagi negara. Maka, saya dedikasikan keterlibatan saya dalam Kelas Inspirasi Kota Bandung angkatan 4 ini untuk Papa dan semua guru-guru yang tak lelah mengabdikan diri untuk masa depan anak-anak bangsa.
0 Komentar
Silakan tinggalkan komentar.