Oleh: Reza Sukma Nugraha
Sastra Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari sosok Chairil Anwar. Dalam periodisasi sastra, nama Chairil Anwar disebut sebagai tokoh yang paling berjasa dalam angkatan ’45. Dia dikenal sebagai pembaru perpuisian di Indonesia, yaitu dengan mengenalkan puisi bebas yang tidak terikat pada aturan sebagaimana puisi lama dan baru.
Citranya yang melekat dengan kebebasan tidak hanya terlihat dalam sajak-sajak yang Chairil tulis. Sastrawan yang hidup singkat ini dikenal sebagai sosok revolusioner yang menyuarakan perlawanan terhadap kolonialisme, Belanda dan Jepang. Namun, ironisnya Chairil dianggap pecinta Barat. Hal tersebut terlihat dari orientasi budaya yang dianutnya yang terepresentasi di dalam karya-karyanya.
Salah seorang yang membicarakan hal tersebut adalah Subagyo Sastrowardoyo. Sastrawan angkatan 50-an ini mempermasalahkan orientasi budaya Chairil Anwar di dalam bukunya, Sosok Pribadi dalam Sajak (Pustaka Djaja, 1980). Melalui sajak-sajaknya, Chairil dianggap menunjukkan kecenderungan budayanya pada Barat. Hal tersebut yang menurut Subagyo menjadikan Chairil tercerabut dalam akar budayanya sendiri.
Orientasi Budaya Chairil Anwar dalam Sosok Pribadi dalam Sajak
Di dalam Sosok Pribadi dalam Sajak, Subagyo menulis pengaruh kepribadian para sastrawan terhadap karya-karyanya. Sastrawan yang menjadi perhatiannya adalah Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Toto Sudarto Bachtiar, dan Rendra. Dalam tulisannya tentang Chairil, Subagyo memberikan pandangannya terhadap karya-karya Chairil di luar dari karisma Chairil sebagai sastrawan yang telah terbentuk selama ini. Subagyo menawarkan sisi lain, yaitu kritik yang objektif terhadap sajak-sajak Chairil. Hal tersebut terlepas dari “pujian-pujian” terhadap Chairil yang membuat kritik terhadap sajak Chairil menjadi subjektif.
Subagyo memulai tulisannya dengan sebuah perbandingan. Menurutnya, sastrawan tidak ubahnya tokoh politik. Bila telah mencapai karisma, semacam kekeramatan kedudukan di tengah masyarakat, maka opini publik sulit dibelokkan atau ditumbangkan. Begitu pula dengan Chairil Anwar. Kedudukan Chairil begitu kuat di dalam lingkungan sastra karena didukung sastrawan-sastrawan sekaliber H.B. Jassin, Sitor Situmorang, Asrul Sani, Rivai Apin, dan lain-lain. Bahkan didukung oleh penulis luar negeri seperti A. Teeuw, B. Raffel, dan A.H. Johns.
Kondisi tersebut, menurut Subagyo, membuat kesalahpahaman. Menurutnya, pada tingkat serta suasana perkembangan puisi Indonesia dewasa ini, sikap tidak menghargai Chairil tidak saja menandakan selera estetik yang lain, tetapi salah-salah dikira kurang kemampuan diri untuk menumbuhkan rasa seni yang setaraf dengan yang dimiliki oleh lingkungan budayanya.
Subagyo berusaha mempertanyakan, apakah ada suatu kritik objektif terhadap karya-karya Chairil, atas sajak-sajaknya, tanpa dipengaruhi ‘kebesaran’ namanya? Subagyo menyebut bahwa orientasi budaya Chairil condong pada apa yang disebut dengan kebudayaan “modern” kota. Karena masyarakat kita, lanjutnya, terbiasa menganut kebudayaan campuran “pribumi-asing” (kebudayaan kota dianggapnya sebagai perpaduan Indonesia-Eropa), maka dusun atau kampung cenderung mengikuti budaya kota.
Orientasi budaya angkatan Chairil, yaitu angkatan ’45 juga merujuk ke kebudayaan Barat, yakni Belanda. Hal ini tidak berbeda dengan angkatan Pujangga Baru (1930-an) yang digadang-gadang Sutan Takdir Alisyahbana yang secara eksplisit berorientasi Barat. Oleh karena itu, Subagyo meyakini bahwa revolusi yang ditawarkan Chairil pada angkatan ’45 ini tidaklah jauh berbeda dengan cita-cita angkatan Pujangga Baru.
Angkatan ’45 dengan Chairil sebagai tonggak tokohnya sejatinya ingin menegaskan jatidiri kebudayaan yang selama angkatan Pujangga Baru masih berada dalam bayang-bayang perpisahan budaya Timur-Barat. Namun, Subagyo menyebut bahwa angkatan ’45 jelas-jelas masih berada di bawah bayang-bayang Pujangga Baru. Bahkan, angkatan ’45 menegaskan bahwa pandangannya lebih condong kepada Barat.
Penegasan bahwa angkatan ’45 berkiblat ke Barat akan jelas terlihat sebagai sebuah pilihan apabila menyinggung masalah kebimbangan sastrawan Ajip Rosidi. Ajip yang berasal dari Jatiwangi (daerah pinggiran) kemudian berhijrah menuju Jakarta (kota modern) mengalami pertentangan batin mengenai kiblat kebudayaan yang hendak dia pilih saat merasa “kecewa” dengan gambaran modern kota yang berbeda dari apa yang dipikirkannya. Kebingungan ini kemudian bermuara pada satu pertanyaan mengenai identitas budaya yang hendak dipilih, “Apakah kembali ke daerah atau ke luar negeri?” Pada kasus Chairil, Subagyo menyebut bahwa Chairil dan angkatan ’45 jelas memilih ke luar negeri (Belanda) sebagai identitas yang dipilih.
Sebagai dua angkatan yang berbeda, tentu terdapat perbedaan antara angkatan Pujangga Baru dan angkatan ’45. Di dalam persajakan, perbedaan yang kentara terlihat pada bentuk sajak yang ditulis penyair pada kedua angkatan tersebut. Struktur sajak angkatan ’45 sebagaimana karya-karya Chairil lepas dari konvensi-konvensi sajak yang lebih dulu dikenal dalam dunia sastra Melayu. Bentuk sajak tersebut dikenal dengan puisi bebas. Hal ini yang menurut Subagyo menegaskan bahwa angkatan ’45 jelas telah memilih sikap untuk berkiblat ke Barat.
Selain masalah struktur, perbedaan (yang disebut sebagai revolusi) sajak pada angkatan ’45 dari angkatan sebelumnya adalah dari gaya tutur. Sebelumnya, sajak dikenal dengan gaya tutur khas sastrawi, yakni mengalun indah penuh keindahan (seperti sajak Amir Hamzah) kemudian berganti menjadi puisi-puisi yang meletup-letup dengan kata-kata sehari-hari. Ini yang disebut Subagyo sebagai gaya khas kota Chairil. Namun Subagyo menilai bahwa gaya angkatan ’45 ini adalah sebuah bentuk kematangan dari para penyair.
Berdasarkan asumsi-asumsi terhadap orientasi kebudayaan yang dianut Chairil tersebut, Subagyo memberikan penilaian terhadap sajak-sajak Chairil.
Pertama, penggunaan gatra puisi Chairil. Subagyo mencontohkan sajak “Tak Sepadan” berikut:
atau di dalam sajak “Malam” berikut:
Di dalam kedua sajak tersebut, Chairil menyebut dua istilah asing, yakni Ahasveros dan Thermopylae. Hal ini dinilai Subagyo sebagai pengembaraan Chairil demi gatra puisi hingga ke tempat asing, yang tidak terbiasa dikenal di budaya Indonesia. Dengan menggunakan istilah tersebut, Subagyo menilai bahwa Chairil telah memaksa pembaca (dengan latar budaya Indonesia) untuk memahami apa yang tidak menjadi pengetahuan sehari-hari pembaca. Analogi, menurut Subagyo, seperti orang Eropa yang tidak akan mengerti sebuah sajak yang di dalamnya terdapat istilah “perang badar” apabila tidak penjelasan lebih lanjut di dalam sajak tersebut.
Selain itu, Subagyo juga mempermasalahkan sajak Chairil berjudul “Isa”. Subagyo menyebut bahwa sajak tersebut merujuk pada filsafat Nasrani. Chairil dituding tidak setia pada keinginan dan “angan-angan” masyakarat Indonesia sebagai pembaca karena masyakat Indonesia (pada saat itu) lebih dekat dan mengenal filsafat dan sejarah Islam sebagai agama mayoritas. Chairil dinilai memersepsikan publik pembacanya adalah orang Eropa.
Pada akhirnya, Subagyo menyayangkan orientasi kebudayaan Chairil tersebut. Dia menganggap bahwa Chairil hanya menyaksikan kebudayaan Eropa melalui abtraksi, lain halnya dengan sastrawan Sitor Situmorang yang pernah menginjakkan kaki langusng di Eropa. Bahkan di masa-masa akhir hidupnya, Subagyo menilai bahwa keeropaan Chairil pun kemudian beku seiring dengan kematiannya di masa mudanya.
Metaanalisis terhadap “Orientasi Budaya Chairil Anwar”
Berdasarkan tulisan tersebut, Subagyo memaparkan kritiknya terhadap sajak-sajak Chairil. Dia mendeskripsikan beberapa “kelemahan” di dalam sajak Chairil yang menurutnya dipengaruhi oleh latar belakang individu Chairil itu sendiri. Kelemahan terbesarnya adalah masalah orientasi budaya Chairil yang ironis, yaitu sangat mengiblat ke Barat. Orientasi budaya Chairil tersebut melebur di dalam karya-karya yang dihasilkannya sehingga sajak-sajaknya yang tidak memihak kepada pembaca (masyarakat Indonesia saat itu).
Dalam tradisi filsafat, dikenal dua tradisi besar, yakni modernisme dan posmodernisme. Dalam hubungannya dengan karya sastra, pengarang dalam perspektif modernisme adalah figur yang memegang peranan penting di dalam sebuah karya sastra. Sebuah karya tidak lepas dari sosok pengarangnya sehingga baik buruknya sebuah karya selalu dikaitkan dengan sosok di balik karya tersebut, yakni pengarang sebagai pencipta. Tidak jarang pula, sebuah karya selalu diidentifikasi sebagai cerminan kehidupan pengarangnya.
Melihat uraian kritik Subagyo terhadap sajak-sajak Chairil tentu mengingatkan kita pada tradisi modernisme ini. Subagyo mengungkapkan beberapa contoh kasus di dalam sajak Chairil yang diyakini (atau dicurigai) sebagai cerminan sikap Chairil yang orientasinya tidak memihak pada kebudayaan asli Indonesia. Maka, pemaknaan terhadap sajak-sajak Chairil selalu dibenturkan dengan latar belakang budaya yang dianut Chairil tersebut.
Kritik semacam itu akan mengaburkan batas antara seorang pengarang (termasuk penyair) dengan hasil karyanya. Tidak adanya jarak antara sebuah karya dengan pengarangnya membuat analisis menjadi cenderung tidak objektif. Meskipun memang, banyak ahli sastra yang tetap “mengesahkan” keterlibatan sosok pengarang di dalam karyanya, seperti pada psikoanalisis atau sosiologi pengarang.
Di satu sisi, Subagyo mendeskripsikan sosok Chairil dengan segala kerumitan orientasi budayanya. Pada sisi ini, sebetulnya dapat diterima bahwa orientasi budaya Chairil memberikan pengaruh terhadap sajak-sajak yang ditulisnya. Seperti, pada penyebutan tokoh Ahasveros di dalam sajaknya merupakan salah satu pengagungan Chairil terhadap budaya Barat. Namun, di satu sisi, Subagyo juga memberikan pemaknaan terhadap sajak-sajak Chairil berdasarkan pengaruh pandangan budayanya. Hal tersebut yang semestinya tidak perlu dilakukan.
Pada permasalahan ini, saya cenderung memihak pada pandangan posmodernisme yang mengganggap pengarang harus “dibunuh”. Sebagaimana dijelaskan secara mendetail oleh Barthes bahwa pengarang telah mati setelah karyanya kemudian disajikan kepada khalayak pembaca. Dengan demikian, tidak ada lagi sosok individu sebagai pencipta setelah sebuah karya lahir. Yang perlu diperhatikan hanya satu, yaitu karya itu sendiri.
Menurut Barthes, kita (pembaca) semestinya tidak perlu tahu siapa yang berbicara di dalam sebuah karya sastra. Karena sejatinya tulisan adalah pemberangusan (destruksi) terhadap setiap suara, setiap sumber asal suara. Tulisan adalah ruang yang bersifat netral dan merupakan hasil peleburan berbagai hal sehingga subjek lambat laun menghilang.
Bagi Barthes, di dalam sebuah karya sastra, bahasa yang berbicara dan bukan pengarang. Pengarang harus diberangus. Pemberangusan ini mentransformasi teks modern sehingga teks diciptakan atau dibaca sebagai karya tanpa memunculkan pengarangnya.
Berdasarkan pandangan di atas, kritik terhadap sajak-sajak Chairil seharusnya tidak perlu dihubungkan dengan sosok Chairil. Biarkan teks berbicara melalui bahasa kemudian kita sebagai pembaca yang memberikan interpretasi terhadap yang diungkap teks tersebut. Pemaknaan sepenuhnya hak pembaca yang secara utuh melihat sajak menjadi satu kesatuan tanpa dibayangi oleh pencipta karya tersebut. Dengan demikian, “kelemahan-kelemahan” yang terdapat di dalam sajak tersebut menjadi hasil kritik yang objektif tanpa perlu “menyalahkan” kelemahan tersebut sebagai pengaruh sosok pengarang dengan segala sendi kehidupannya.
Pada kritik yang ditulis Subagyo, sorot utama yang menjadikan sajak-sajak Chairil dinilai lemah adalah masalah orientasi budaya Chairil yang berkiblat ke Barat. Di dalam tulisannya, Chairil seolah dianggap telah memaksakan kehendak untuk memilih Barat sebagai sikapnya dan tidak mempertahankan nilai-nilai keindonesiaan. Dianggap memaksakan, sebagaimana uraian Subagyo bahwa Chairil hanya mengecap dan mengetahui budaya Barat “hanya” dari abstraksi saja tanpa pernah menginjakkan kaki secara langsung di Eropa. Berbeda dengan sastrawan lain, seperti Sitor Situmorang.
Mengenai masalah pengarang, Barthes menyebut bahwa pengarang adalah bentukan manusia modern. Muncul sejak empirisme abad pertengahan di Inggris dan rasionalisme di Prancis. Pada saat itu, kepengarangan mendapat perhatian besar di dalam lingkup sastra sehingga pengarang diberi “ruang” seperti pada biografi, sejarah pengarang, dan lain-lain. Maka pembaca atau penikmat sastra tidak hanya membaca karya, namun juga berfokus kepada sosok pribadi sang pengarang.
Kritik Subagyo seolah tampak seperti penggalan biografi Chairil dengan menitikberatkan pada persoalan identitas budaya yang dipilihnya. Identitas budaya tersebut lantas berpengaruh pada sajak-sajaknya. Namun, disayangkan persoalan biografis tersebut juga kemudian menjadi dasar kritik terhadap sajak-sajak Chairil. Padahal, saya pikir, akan lebih objektif apabila kritik objektif terhadap sajak tersebut tidak disandarkan dengan sosok individu Chairil sebagai pengarang.
Pada akhirnya, perspektif Barthes terhadap sebuah karya sastra rasanya perlu digunakan dalam mengkritik sebuah karya. Menurut Barthes, menggeledah pengarang teks berarti memenjara teks tersebut dengan batas-batas tertentu. Berdasarkan pendapatnya tersebut, dapat dipahami bahwa sebuah kritik yang objektif—yakni tanpa ada “batas-batas” yang dimaksud Barthes—adalah kritik yang berfokus pada karya itu sendiri tanpa perlu melekatkan sosok individu pengarang pada karyanya dalam kritik tersebut.
Sastra Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari sosok Chairil Anwar. Dalam periodisasi sastra, nama Chairil Anwar disebut sebagai tokoh yang paling berjasa dalam angkatan ’45. Dia dikenal sebagai pembaru perpuisian di Indonesia, yaitu dengan mengenalkan puisi bebas yang tidak terikat pada aturan sebagaimana puisi lama dan baru.
https://deweezz.com/kumpulan-puisi-chairil-anwar/ |
Salah seorang yang membicarakan hal tersebut adalah Subagyo Sastrowardoyo. Sastrawan angkatan 50-an ini mempermasalahkan orientasi budaya Chairil Anwar di dalam bukunya, Sosok Pribadi dalam Sajak (Pustaka Djaja, 1980). Melalui sajak-sajaknya, Chairil dianggap menunjukkan kecenderungan budayanya pada Barat. Hal tersebut yang menurut Subagyo menjadikan Chairil tercerabut dalam akar budayanya sendiri.
Orientasi Budaya Chairil Anwar dalam Sosok Pribadi dalam Sajak
Di dalam Sosok Pribadi dalam Sajak, Subagyo menulis pengaruh kepribadian para sastrawan terhadap karya-karyanya. Sastrawan yang menjadi perhatiannya adalah Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Toto Sudarto Bachtiar, dan Rendra. Dalam tulisannya tentang Chairil, Subagyo memberikan pandangannya terhadap karya-karya Chairil di luar dari karisma Chairil sebagai sastrawan yang telah terbentuk selama ini. Subagyo menawarkan sisi lain, yaitu kritik yang objektif terhadap sajak-sajak Chairil. Hal tersebut terlepas dari “pujian-pujian” terhadap Chairil yang membuat kritik terhadap sajak Chairil menjadi subjektif.
Subagyo memulai tulisannya dengan sebuah perbandingan. Menurutnya, sastrawan tidak ubahnya tokoh politik. Bila telah mencapai karisma, semacam kekeramatan kedudukan di tengah masyarakat, maka opini publik sulit dibelokkan atau ditumbangkan. Begitu pula dengan Chairil Anwar. Kedudukan Chairil begitu kuat di dalam lingkungan sastra karena didukung sastrawan-sastrawan sekaliber H.B. Jassin, Sitor Situmorang, Asrul Sani, Rivai Apin, dan lain-lain. Bahkan didukung oleh penulis luar negeri seperti A. Teeuw, B. Raffel, dan A.H. Johns.
Kondisi tersebut, menurut Subagyo, membuat kesalahpahaman. Menurutnya, pada tingkat serta suasana perkembangan puisi Indonesia dewasa ini, sikap tidak menghargai Chairil tidak saja menandakan selera estetik yang lain, tetapi salah-salah dikira kurang kemampuan diri untuk menumbuhkan rasa seni yang setaraf dengan yang dimiliki oleh lingkungan budayanya.
Subagyo berusaha mempertanyakan, apakah ada suatu kritik objektif terhadap karya-karya Chairil, atas sajak-sajaknya, tanpa dipengaruhi ‘kebesaran’ namanya? Subagyo menyebut bahwa orientasi budaya Chairil condong pada apa yang disebut dengan kebudayaan “modern” kota. Karena masyarakat kita, lanjutnya, terbiasa menganut kebudayaan campuran “pribumi-asing” (kebudayaan kota dianggapnya sebagai perpaduan Indonesia-Eropa), maka dusun atau kampung cenderung mengikuti budaya kota.
Orientasi budaya angkatan Chairil, yaitu angkatan ’45 juga merujuk ke kebudayaan Barat, yakni Belanda. Hal ini tidak berbeda dengan angkatan Pujangga Baru (1930-an) yang digadang-gadang Sutan Takdir Alisyahbana yang secara eksplisit berorientasi Barat. Oleh karena itu, Subagyo meyakini bahwa revolusi yang ditawarkan Chairil pada angkatan ’45 ini tidaklah jauh berbeda dengan cita-cita angkatan Pujangga Baru.
Angkatan ’45 dengan Chairil sebagai tonggak tokohnya sejatinya ingin menegaskan jatidiri kebudayaan yang selama angkatan Pujangga Baru masih berada dalam bayang-bayang perpisahan budaya Timur-Barat. Namun, Subagyo menyebut bahwa angkatan ’45 jelas-jelas masih berada di bawah bayang-bayang Pujangga Baru. Bahkan, angkatan ’45 menegaskan bahwa pandangannya lebih condong kepada Barat.
Penegasan bahwa angkatan ’45 berkiblat ke Barat akan jelas terlihat sebagai sebuah pilihan apabila menyinggung masalah kebimbangan sastrawan Ajip Rosidi. Ajip yang berasal dari Jatiwangi (daerah pinggiran) kemudian berhijrah menuju Jakarta (kota modern) mengalami pertentangan batin mengenai kiblat kebudayaan yang hendak dia pilih saat merasa “kecewa” dengan gambaran modern kota yang berbeda dari apa yang dipikirkannya. Kebingungan ini kemudian bermuara pada satu pertanyaan mengenai identitas budaya yang hendak dipilih, “Apakah kembali ke daerah atau ke luar negeri?” Pada kasus Chairil, Subagyo menyebut bahwa Chairil dan angkatan ’45 jelas memilih ke luar negeri (Belanda) sebagai identitas yang dipilih.
Sebagai dua angkatan yang berbeda, tentu terdapat perbedaan antara angkatan Pujangga Baru dan angkatan ’45. Di dalam persajakan, perbedaan yang kentara terlihat pada bentuk sajak yang ditulis penyair pada kedua angkatan tersebut. Struktur sajak angkatan ’45 sebagaimana karya-karya Chairil lepas dari konvensi-konvensi sajak yang lebih dulu dikenal dalam dunia sastra Melayu. Bentuk sajak tersebut dikenal dengan puisi bebas. Hal ini yang menurut Subagyo menegaskan bahwa angkatan ’45 jelas telah memilih sikap untuk berkiblat ke Barat.
Selain masalah struktur, perbedaan (yang disebut sebagai revolusi) sajak pada angkatan ’45 dari angkatan sebelumnya adalah dari gaya tutur. Sebelumnya, sajak dikenal dengan gaya tutur khas sastrawi, yakni mengalun indah penuh keindahan (seperti sajak Amir Hamzah) kemudian berganti menjadi puisi-puisi yang meletup-letup dengan kata-kata sehari-hari. Ini yang disebut Subagyo sebagai gaya khas kota Chairil. Namun Subagyo menilai bahwa gaya angkatan ’45 ini adalah sebuah bentuk kematangan dari para penyair.
Berdasarkan asumsi-asumsi terhadap orientasi kebudayaan yang dianut Chairil tersebut, Subagyo memberikan penilaian terhadap sajak-sajak Chairil.
Pertama, penggunaan gatra puisi Chairil. Subagyo mencontohkan sajak “Tak Sepadan” berikut:
Kau kawan, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros
atau di dalam sajak “Malam” berikut:
Mulai kelam
Belum buntu malam
Kami masih saja berjaga
—Thermopylae?—
Di dalam kedua sajak tersebut, Chairil menyebut dua istilah asing, yakni Ahasveros dan Thermopylae. Hal ini dinilai Subagyo sebagai pengembaraan Chairil demi gatra puisi hingga ke tempat asing, yang tidak terbiasa dikenal di budaya Indonesia. Dengan menggunakan istilah tersebut, Subagyo menilai bahwa Chairil telah memaksa pembaca (dengan latar budaya Indonesia) untuk memahami apa yang tidak menjadi pengetahuan sehari-hari pembaca. Analogi, menurut Subagyo, seperti orang Eropa yang tidak akan mengerti sebuah sajak yang di dalamnya terdapat istilah “perang badar” apabila tidak penjelasan lebih lanjut di dalam sajak tersebut.
Selain itu, Subagyo juga mempermasalahkan sajak Chairil berjudul “Isa”. Subagyo menyebut bahwa sajak tersebut merujuk pada filsafat Nasrani. Chairil dituding tidak setia pada keinginan dan “angan-angan” masyakarat Indonesia sebagai pembaca karena masyakat Indonesia (pada saat itu) lebih dekat dan mengenal filsafat dan sejarah Islam sebagai agama mayoritas. Chairil dinilai memersepsikan publik pembacanya adalah orang Eropa.
Pada akhirnya, Subagyo menyayangkan orientasi kebudayaan Chairil tersebut. Dia menganggap bahwa Chairil hanya menyaksikan kebudayaan Eropa melalui abtraksi, lain halnya dengan sastrawan Sitor Situmorang yang pernah menginjakkan kaki langusng di Eropa. Bahkan di masa-masa akhir hidupnya, Subagyo menilai bahwa keeropaan Chairil pun kemudian beku seiring dengan kematiannya di masa mudanya.
Metaanalisis terhadap “Orientasi Budaya Chairil Anwar”
Berdasarkan tulisan tersebut, Subagyo memaparkan kritiknya terhadap sajak-sajak Chairil. Dia mendeskripsikan beberapa “kelemahan” di dalam sajak Chairil yang menurutnya dipengaruhi oleh latar belakang individu Chairil itu sendiri. Kelemahan terbesarnya adalah masalah orientasi budaya Chairil yang ironis, yaitu sangat mengiblat ke Barat. Orientasi budaya Chairil tersebut melebur di dalam karya-karya yang dihasilkannya sehingga sajak-sajaknya yang tidak memihak kepada pembaca (masyarakat Indonesia saat itu).
Dalam tradisi filsafat, dikenal dua tradisi besar, yakni modernisme dan posmodernisme. Dalam hubungannya dengan karya sastra, pengarang dalam perspektif modernisme adalah figur yang memegang peranan penting di dalam sebuah karya sastra. Sebuah karya tidak lepas dari sosok pengarangnya sehingga baik buruknya sebuah karya selalu dikaitkan dengan sosok di balik karya tersebut, yakni pengarang sebagai pencipta. Tidak jarang pula, sebuah karya selalu diidentifikasi sebagai cerminan kehidupan pengarangnya.
Melihat uraian kritik Subagyo terhadap sajak-sajak Chairil tentu mengingatkan kita pada tradisi modernisme ini. Subagyo mengungkapkan beberapa contoh kasus di dalam sajak Chairil yang diyakini (atau dicurigai) sebagai cerminan sikap Chairil yang orientasinya tidak memihak pada kebudayaan asli Indonesia. Maka, pemaknaan terhadap sajak-sajak Chairil selalu dibenturkan dengan latar belakang budaya yang dianut Chairil tersebut.
Kritik semacam itu akan mengaburkan batas antara seorang pengarang (termasuk penyair) dengan hasil karyanya. Tidak adanya jarak antara sebuah karya dengan pengarangnya membuat analisis menjadi cenderung tidak objektif. Meskipun memang, banyak ahli sastra yang tetap “mengesahkan” keterlibatan sosok pengarang di dalam karyanya, seperti pada psikoanalisis atau sosiologi pengarang.
Di satu sisi, Subagyo mendeskripsikan sosok Chairil dengan segala kerumitan orientasi budayanya. Pada sisi ini, sebetulnya dapat diterima bahwa orientasi budaya Chairil memberikan pengaruh terhadap sajak-sajak yang ditulisnya. Seperti, pada penyebutan tokoh Ahasveros di dalam sajaknya merupakan salah satu pengagungan Chairil terhadap budaya Barat. Namun, di satu sisi, Subagyo juga memberikan pemaknaan terhadap sajak-sajak Chairil berdasarkan pengaruh pandangan budayanya. Hal tersebut yang semestinya tidak perlu dilakukan.
Pada permasalahan ini, saya cenderung memihak pada pandangan posmodernisme yang mengganggap pengarang harus “dibunuh”. Sebagaimana dijelaskan secara mendetail oleh Barthes bahwa pengarang telah mati setelah karyanya kemudian disajikan kepada khalayak pembaca. Dengan demikian, tidak ada lagi sosok individu sebagai pencipta setelah sebuah karya lahir. Yang perlu diperhatikan hanya satu, yaitu karya itu sendiri.
Menurut Barthes, kita (pembaca) semestinya tidak perlu tahu siapa yang berbicara di dalam sebuah karya sastra. Karena sejatinya tulisan adalah pemberangusan (destruksi) terhadap setiap suara, setiap sumber asal suara. Tulisan adalah ruang yang bersifat netral dan merupakan hasil peleburan berbagai hal sehingga subjek lambat laun menghilang.
Bagi Barthes, di dalam sebuah karya sastra, bahasa yang berbicara dan bukan pengarang. Pengarang harus diberangus. Pemberangusan ini mentransformasi teks modern sehingga teks diciptakan atau dibaca sebagai karya tanpa memunculkan pengarangnya.
Berdasarkan pandangan di atas, kritik terhadap sajak-sajak Chairil seharusnya tidak perlu dihubungkan dengan sosok Chairil. Biarkan teks berbicara melalui bahasa kemudian kita sebagai pembaca yang memberikan interpretasi terhadap yang diungkap teks tersebut. Pemaknaan sepenuhnya hak pembaca yang secara utuh melihat sajak menjadi satu kesatuan tanpa dibayangi oleh pencipta karya tersebut. Dengan demikian, “kelemahan-kelemahan” yang terdapat di dalam sajak tersebut menjadi hasil kritik yang objektif tanpa perlu “menyalahkan” kelemahan tersebut sebagai pengaruh sosok pengarang dengan segala sendi kehidupannya.
Pada kritik yang ditulis Subagyo, sorot utama yang menjadikan sajak-sajak Chairil dinilai lemah adalah masalah orientasi budaya Chairil yang berkiblat ke Barat. Di dalam tulisannya, Chairil seolah dianggap telah memaksakan kehendak untuk memilih Barat sebagai sikapnya dan tidak mempertahankan nilai-nilai keindonesiaan. Dianggap memaksakan, sebagaimana uraian Subagyo bahwa Chairil hanya mengecap dan mengetahui budaya Barat “hanya” dari abstraksi saja tanpa pernah menginjakkan kaki secara langsung di Eropa. Berbeda dengan sastrawan lain, seperti Sitor Situmorang.
Mengenai masalah pengarang, Barthes menyebut bahwa pengarang adalah bentukan manusia modern. Muncul sejak empirisme abad pertengahan di Inggris dan rasionalisme di Prancis. Pada saat itu, kepengarangan mendapat perhatian besar di dalam lingkup sastra sehingga pengarang diberi “ruang” seperti pada biografi, sejarah pengarang, dan lain-lain. Maka pembaca atau penikmat sastra tidak hanya membaca karya, namun juga berfokus kepada sosok pribadi sang pengarang.
Kritik Subagyo seolah tampak seperti penggalan biografi Chairil dengan menitikberatkan pada persoalan identitas budaya yang dipilihnya. Identitas budaya tersebut lantas berpengaruh pada sajak-sajaknya. Namun, disayangkan persoalan biografis tersebut juga kemudian menjadi dasar kritik terhadap sajak-sajak Chairil. Padahal, saya pikir, akan lebih objektif apabila kritik objektif terhadap sajak tersebut tidak disandarkan dengan sosok individu Chairil sebagai pengarang.
Pada akhirnya, perspektif Barthes terhadap sebuah karya sastra rasanya perlu digunakan dalam mengkritik sebuah karya. Menurut Barthes, menggeledah pengarang teks berarti memenjara teks tersebut dengan batas-batas tertentu. Berdasarkan pendapatnya tersebut, dapat dipahami bahwa sebuah kritik yang objektif—yakni tanpa ada “batas-batas” yang dimaksud Barthes—adalah kritik yang berfokus pada karya itu sendiri tanpa perlu melekatkan sosok individu pengarang pada karyanya dalam kritik tersebut.
1 Komentar
Wow, thank God, thanks to youre article, I was able to complete my college assignments. thank you.
BalasHapusgood luck and keep working.
my name is Astrid Fajriyanti Fadillah ISB Atmaluhur
Silakan tinggalkan komentar.